Minggu, 19 Juni 2011

AKU INGIN SUAMIKU MENANGIS


Siang tadi aku dan si kecil menumpang sebuah taksi dari kawasan Rasuna Said menuju kantor di daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Si pengemudi, Syarif Syah, mula-mula ngobrol ttg pengalamannya bekerja di Arab Saudi bertahun lalu, kemudian ttg pengalamannya berhaji bersama istri, ayah ibu serta ayah ibu mertuanya di thn 1995. lama kelamaan Syarif pun bertutur ttg kehidupan pribadinya. Satu per satu orang yang terdekat dengannya dan menemaninya berhaji dipanggil pulang oleh Allah SWT.

“yang terkahir…..istri saya,” ujarnya, tiba-tiba saja dengan suara pecah. Telinagku “tegak” menangkap kisah kehidupan seorang hamba Allah yang mengerti bahwa semuanya milik Allah dan pasti akan dikembalikan kepada Sang Pemilik, namun masih merasakan perihnya kehilangan seseorang yang dicintainya.

Nur Hafidzah, guru SD Jembatan Besi di Jakarta, wafat karena gangguan ginjal saat menjalani prosedur hemodialisis atau cuci darah di RS Mintoharjo di Bendungan Hilir Jakarta. “Dia sempat bilang, ‘habis ini kita pulang ya Kak’, tapi saya tidak tahu bahwa yang dimaksudnya adalah pulang menghadap Allah,”cerita Syarif. “Dia bilang,’Kak, nggak kuat’ karena menahan sakit, tapi saya bujuk dia,saya ajak dia istighfar…..”

Nur Hafidzah, ibu dari 4 anak yang kini telah dewasa, menghembuskan nafas terkhirnya dalam pelukan suaminya. Saat menceritakan ini, juga saat dia menyelenggarakan dan memakamkan istrinya, air mata Syarif deras mengalir.

Aku mencoba menghiburnya dengan mengutip hadist Rasulullah ttg betapa seorang mukmin akan bersama dengan orang yang dicintainya, dan bahwa seorang perempuan yang wafat dalam ridho suaminya maka dia boleh masuk surga lewat pintu mana saja yang dipilihnya. Tapi itu malahan membuat deraian air mata Syarif menderas.

Akhirnya aku berdiam, membiarkan Syarif terus bercerita tentang betapa Saudara-saudara si istri kini justru berusaha mencarikan istri baru untuknya karena kasihan melihat kesedihannya.

“Tapi saya tidak mau, Bu. Maaf ya Bu, ngga ada yang menyamai istri saya. Dia itu bener-bener baek…mengurus anak-anak, ikhlas, ridho pada suami biar bagaimanapun keadaan suami. Kalau saya kasih uang belanja, ngga pernah dia protes begini begitu, dia ambil, terima kasih, terus dia kasih sebagian untuk pegangan saya.”

“Saya ini Bu, ngga pernah kepengen macem-macem…buat apa? Istri saya udah ngga ada yang nandingin deh.”

Pada waktu itu aku sudah merasakan keharuan yang luar biasa. Kubertanya kepada Syarif kapan istrinya meninggal, ternyata sudah 4 tahun yang lalu! Bukannya satu atau dua bulan berselang… maka terbitlah air mataku.

Ya Allah aku juga ingin suamiku menangisiku kalau aku mati seperti Suarif menangisi Nur Hafidzah, meski bertahun-tahun sudah dia meninggal dunia. Tidak usahlah suamiku memilih untuk tidak menikah sepeninggalku.. -tak apa dia menikah lagi, pada waktu itu bukankah aku sudah tak tahu?- tapi aku ingin suamiku merasa kehilanganaku seperti Syarif kehilangan Nur Hafidzah karena sangat mencintainya.

Yang lebih baik, aku inginsuamiku mengenangku sepeninggalku seperti sang suami tauladan, Rasulullah saw, mengenang istri teladan Siti Khadijah ra. Sedemikian rupa sehingga istri-istri belia, para Ummul Mukmininyang bermutu tinggi seperti si pipi merah jambu Siti Aisyah ra, tak mampu membuat Rasulullah saw melupakan At-Thahirah Khadijah.

Air mataku semakin menderas ketika tersadar bahwa belum tentu suamiku akan menangisi aku bila akumati, karena belum tentu aku cukup baikuntuk merebut ridha suamiku sehingga Allah izinkan aku masuk surga lewat pintu mana saja yang aku kehendaki.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar